|
|
Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata
yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti
suci mendapat awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan tempat dan tiga
artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura
Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah
Pura Dalem.
Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila
jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan
menjadi tiga kali jumlah desa Adat sehingga menjadi 4368 buah pura. Pada
beberapa desa adat di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh digabungkan
dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti hanya satu pura tetapi
sebetulnya adalah tetap dua buah pura.
Desa adat sebagai lembaga sosial tradisional adalah
pengelompokan sosial berdasarkan kesatuan teritorial ditandai mereka
bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas dalam kegiatan
gotong royong dan melaksanakan tugas pasukadukaan. Pengelompokan yang lain
berdasarkan genealogis seperti apa yang disebut tunggal kawitan, tunggal
sanggah, pengelompokan sosial yang disebut sisya yang didasarkan atas siapa
yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara keagamaan. Lembaga sosial
tradisional yang lain adalah subak (kesatuan petani yang sawahnya menerima
air dari satu sumber irigasi yang sama), dan sekaha (kesatuan sukarela).
Keseluruhan lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi upaya
pelestarian dan penyelarasan kebudayaan Bali yang dibangun atas dasar
landasan konsepsi Trihita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan hidup) yaitu parhyangan = tempat pemujaan, pawongan
= manusia, dan pelemahan = wilayah.
Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Trihita Karana
yaitu unsur parhyangan dari setiap desa adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga
masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan
masyarakatnya. Unsur yang ke dua dan tiga dari Trihita Karana disebut
dengan pelemahan dan pawongan. Dengan demikian maka di dalam mewujudkan rasa
aman, tentram, sejahtera lahir batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan
tiga hubungan harmonis yaitu hubungan manusia dengan alam atau hubungan
krama desa dengan wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Hyang
Widi sebagai pelindung. Inilah yang dinamakan Trihita Karana dalam desa
adat di Bali.
Dengan tercakupnya unsur ketuhanan dalam kehidupan desa adat
di Bali, maka desa adat di Bali mencakup pula pengertian sosio-religius.
Maka dari itu perpaduan antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah erat
sekali sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur-unsur adat dengan unsur
agama, karena adat-istiadat di Bali dijiwai oleh agama Hindu dan aktivitas
agama Hindu didukung oleh adat istiadat di masyarakat. |
|
Membicarakan masalah sejarah pendirian Kahyangan Tiga pada
setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena sumber
tertulis yang menyebutkan secara jelas belum ditemukan. Tetapi besar
kemungkinan pada jaman Bali Kuna ketiga pura tersebut telah ada di
tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai kata Kahyangan untuk menyebut
pura tersebut. Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum ditemukan kata
Pura untuk menyebut tempat suci tetapi yang dipakai adalah kata hyang atau
kahyangan.
Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan
Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011M di Bali berkembang banyak
aliran-aliran keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda,
Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Di antara penasehat
pemerintahan Udayana, tersebut nama Senapati Kuturan di samping sebagai
ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut "Pakiran-kiran i jro
makabehan".
Empu Kuturan sebagai seorang senapati dan ahli dalam masalah
keagamaan, berhasil dalam menanamkan pengertian di bidang keagamaan dan
menyempurnakan sistem kemasyarakatan di Bali. Dalam karangannya Purana
Tatwa, Dewa Tatwa, Widisastra, memberikan pelajaran tentang sejarah para
Pendeta, Dewa-dewa dan bagaimana caranya memuja Dewa-dewa, dan caranya
membangun pura dengan pedagingannya.
Seorang sarjana Belanda yang lama tinggal di Bali yakni Dr. R.
Cons mengatakan kecerdasan Empu Kuturan sebagai seorang filosof besar dan
negarawan yang bijaksana. Dalam lontar Raja Purana menyebutkan usaha Empu
Kuturan untuk membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya sebagai
berikut:
Ngaran Dewa ring kahyangan pewangunan Empu Kuturan
kapastikan saking Pura Silayukti, muwang ngewangun seraya karya,
ngadegang raja purana, mwang nangun karya ngenteg linggih batara ring
Bali, kaprateka antuk sira Empu Kuturan, Ngeraris nangun catur agama,
catur lokika bhasa, catur gila, mekadi ngewangun Sanggah Kamulan,
ngewangun Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh mwang Dalem.
|
terjemahan:
|
Adapun Dewa di Kahyangan diciptakan atau dibangun oleh Empu
Kuturan, direncanakan dari Pura Silayukti dan menyelenggarakan segala
pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura kahyangan jagat,
demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan linggih
batara-batari di Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya dibuat
peraturan agama, empat cara-cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam
kesusilaan dan lima tatwa agama, seperti mengajar membuat sanggah
Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh dan Dalem.
|
Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempat suci, oleh Empu Kuturan, babad
Gajah Mada menyebutkan sebagai berikut:
Sira to Empu Kuturan sang sida moksah ring Silayukti sira
to urnara marahing tumitahing Bali Aga, sira nggawe paryangan pengastawan
kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga kabeh, apan Bali gung guna sucaya.
|
Terjemahan:
|
Beliau Empu Kuturan yang moksa di Silayukti, dia yang
mengajarkan membuat pemujaan di Bali, termasuk tempat suci pemujaan untuk
roh suci leluhur paibon/ dadia, sehingga Bali menjadi jaya dan sejahtera.
|
Adanya banyak aliran-aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di
masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat
di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan
ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan
mengganggu kehidupan masyarakat.
Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana
menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para tokoh-
tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh agama itu bertempat di Desa
Bedahulu Kabupaten Gianyar.
Pertemuan para tokoh-tokoh agama dari berbagai aliran yang ada
di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tri Murti yang
berarti tiga perwujudan dari Hyang Widi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan
Dewa Siwa. Tempat pasamuhan yang menghasilkan dasar keagamaan Tri Murti
disebut Samuan Tiga di mana sekarang berdiri Pura Samuan
Tiga di
Desa Bedahulu. Pada pura ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti
lingga, Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan batara- batari.
Tiga kekuatan di atas yang merupakan prabawa Hyang Widi dapat
dirasakan dan dialami dalam kehidupan di dunia ini sebagai suatu siklus
yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian seterusnya berputar sebagai suatu
lingkaran yang tiada terputus sepanjang jaman, karena ia kodrat alam dan
hukum Tuhan. Ketiga kodrat alam ini disebut tri kona (segi tiga). Kesaktian
untuk menciptakan (utpati), kesaktian untuk memelihara (stiti) dan
kesaktian untuk mengembalikan kepada asalnya (pralina) merupakan tiga sifat
yang mutlak dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti.
Di dalam Weda, Tri Murti berarti tiga Dewa yaitu: Dewa Brahma,
Wisnu dan Iswara (Siwa), yang diwujudkan dengan:
- Aksara Ang melambangkan
Dewa Brahma dengan warna merah dan senjata Gada.
- Aksara Ung melambangkan
Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra
- Aksara Mang melambangkan
Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatanya Padma.
Ketiga aksara Ang Ung Mang jika disatukan menjadi A U M. Dalam
persenyawaan suara huruf A dan U disandikan menjadi 0 sehingga AUM menjadi
Om, yaitu lambang aksara Hyang Widi.
Dari uraian tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa
Kahyangan Tiga pada setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan
ketika pemerintahan raja suami istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni pada
abad 10M. Perkiraan ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam babad Pasek
yang menyebutkan demikian:
Nguni duk pemadegan sira cri Gunapriya Darmapatni Udayana
Warmadewa, hana pesamuan agung ciwa Budha kalawan Bali Aga, ya etunya
hana desa pakraman mwang Kahyangan Tiga maka kraman ikang desa para desa
Bali Aga.
|
Terjemahan:
|
Dahulu tatkala bertahtanya Çri Gunapriya Darmapatni dan
suaminya Udayana, ada musyawarah besar Çiwa Buddha dengan pihak Bali Aga,
itulah asal mulanya ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan
kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga.
|
Dan uraian di atas dapat diduga bahwa pengelompokan masyarakat
ketika itu disebut desa pakraman dan dalam perkembangannya mengalami
perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang dilengkapi dengan
peraturan-peraturan yang disebut Awig-awig.
Awig-awig ini mempunyai kedudukan sebagai stabilisator yang
mengatur kegiatan dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah agar
suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara secara serasi dan harmonis
dengan ketertiban yang mantap.
Keserasian dan keharmonisan kehidupan masyarakat dapat diukur
dengan sistem cara berpikir yang lugu dan tidak mengadakan
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara berpikir yang demikian
itu akan melahirkan suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal
dengan istilah suka duka sebagai salah satu warisan budaya yang tak
ternilai harganya. |
|
Untuk lebih memantapkan dan memasyarakatkan
konsepsi Tri Murti yang telah disepakati sebagai dasar keagamaan di Bali,
maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan tiga. Ketiga Kahyangan
tersebut adalah:
a.
|
Pura Desa
|
tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta
alam semesta.
|
b.
|
Pura Puseh
|
tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai
pemelihara.
|
c.
|
Pura Dalem
|
tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi
sebagai pemralina alam semesta.
|
Di samping Pura Kahyangan Tiga yang dimiliki oleh tiap-tiap desa, maka
setiap pekarangan rumah orang Bali yang beragama Hindu didirikan tempat
beribadat yang disebut "Sanggah" atau "Pamerajan".
Perkataan Sanggah berasal dari sanggar yang berarti tempat suci, karena
perubahan huruf dari r menjadi h maka menjadi Sanggah. Secara etimologi
adalah berasal dari kata sa dan angga (sa berarti satu dan angga berarti
badan). Jadi berarti satu badan atau penunggalan suksma sarira dengan stela
sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk dapat memusatkan pikiran
ke hadapan Hyang Widi, melalui roh suci leluhur. Sedangkan kata Pamerajan
berasal dari kata pa yang menunjukkan tempat dan mara berarti dekat dan ja
dari kata jati, yang berarti lahir. Jadi arti dari Pamerajan adalah tempat
mendekatkan diri pada asal kelahiran.
Bangunan suci di Sanggah yang berfungsi untuk pemujaan roh
suci leluhur adalah Kamulan. Secara etimologi kata kamulan berasal dari
kata mula yang berarti asal dan mendapat awalan ka dan akhiran an yang
menunjukkan tempat, sehingga berarti tempat asal yaitu leluhur.
Bentuknya adalah sebagai gedong tetapi di dalamnya dibagi atas
tiga ruang yaitu ruang tengah, ruang samping kanan dan ruang samping kiri.
Mengenai fungsi masing-masing ruang adalah sebagai berikut:
- ruang samping kanan
adalah pemujaan untuk purusa atau bapanta
- ruang samping kiri untuk
pradana atau ibunta
- ruang di tengah adalah
untuk raganta atau Siwatma.
Pertemuan antara purusa dan pradana menghasilkan ciptaan di
mana di dalamnya terdapat unsur kekuatan yang disebut atma. Pelaksanaan
puja di Sanggah Kamulan disebut: Guru Stawa, dan dijelaskan puji-pujian
kepada roh suci, atau disebut guru rupaka. Mantramnya sebagai berikut:
o
Om dewa-dewa tri devanam, tri murti linggatmanam tri
purusa sudha-nityam, sarvajagat jiwatmanam.
o
Om guru dewa, guru rupam, guru padyam, guru purvam, guru
pantaram devam, guru dewa suddha nityam.
|
Terjemahan bebasnya:
|
o
Ya Tuhan, para dewa dari tiga dewa, tri murti tiga
perwujudan simbul Siwa, Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa, suci selalu, nyawa
dari alam semesta.
o
Ya Tuhan, gurunya dari Dewa, Gurunya batara-batari,
junjungan guru permulaan, guru perantara dewa-dewa, gurunya dewa yang
selamanya suci.
|
Konsepsi Tri Murti tampak pula tercermin di Pura Besakih
sebagai Pura Sad Kahyangan Bali. Di sini jelas tampak kehadiran tiga buah
pura yang besar yang penempatannya berjajar tiga dari Utara ke Selatan.
Pura yang paling selatan adalah Pura Kiduling Kreteg, sebagai stana Dewa Brahma. Pura Penataran Agung terletak
di tengah stana Dewa Siwa dengan tiga kemahakuasaan yang disebut tri purusa
yaitu Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa dan Pura Batu Madeg di
sebelah Utara sebagai stana Dewa Wisnu. Stana pemujaan Dewa Siwa di
Penataran Agung berbentuk Padma Tiga dan stana pemujaan Dewa Brahma dan
Dewa Wisnu berbentuk Meru bertingkat sebelas. Apabila ketiga pura tersebut
di atas; pura Kiduling Kreteg, Penataran Agung dan Batu Madeg ditambah
dengan dua buah pura lagi yaitu Pura Gelap dan Pura Ulun Kulkul masing-masing
sebagai penjaga arah mata angin Timur dan Barat maka lengkap lah penerapan
konsep Catur Lokapala. Pura Gelap tempat memuja Dewa Iswara dan Pura Ulun Kulkul tempat memuja Dewa Mahadewa.
Kahyangan Tiga yang merupakan unsur parhyangan dari Trihita Karana, penempatannya pada desa adat diatur sebagai berikut:
Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu
sudut dari Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat
bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting.
Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dari desa yang
mengarah ke pantai karena itu Pura Puseh sering disebut Pura Segara di Bali
Utara.
Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dari desa
karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra
yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup. |
|
|
|
Pura ini disebut dengan nama Pura Desa karena pura ini lazim
ditempatkan di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dari catuspata
(perempatan agung).
Catus merupakan perubahan ucapan dari kata catur artinya
tempat. Perubahan wianjana r menjadi s memang sering terjadi seperti
dursila menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi niskala dan
lain-lain. Pata merupakan perubahan ucapan dari kata pada yang berarti
dunia/alam. Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya pengaruh
yang datang dari empat buah slam yang ada di sekitar dunia ini (Timur,
Selatan Barat dan Utara). Wujud nyata sebuah catus pata adalah jalan
simpang empat atau perempatan.
Masyarakat tradisional Bali selaku kelompok masyarakat
budaya dalam mengatur desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya
seperti: pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan, diatur dalam satu tata
ruang. Filosofis pengaturan tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata
dan luan teben, misalnya: pasar, wantilan, Pura Desa, rumah pembesar desa
ditempatkan pada sudut-sudut dari catus pata.
Pura Desa menjadi tempat pusat kegiatan pelaksanaan upacara
untuk kepentingan desa seperti upacara Ngusaba Desa, pasamuhan batara
setelah upacara melis yang dilaksanakan sebelum upacara Panyepian. Pada
beberapa daerah di Bali, Pura Desa disebut pula dengan nama Pura Bale
Agung. Nama ini kemungkinan diambil dari nama bangunan Bale Agung yang
terdapat pada bagian halaman pertama dari pura tersebut.
Pura Desa mempunyai denah yang terbagi atas tiga bagian,
tetapi lebih umum denah pertama dan kedua digabung menjadi satu, sehingga
tampak mempunyai dua denah yaitu : Jaba sisi (halaman pertama) dan jaba
jeroan (halaman kedua). Kedua halaman dikelilingi dengan tembok dengan
pintu masuk yang disebut candi bentar dan kori agung. Masing-masing
halaman tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan fungsi yang
berbeda-beda. Mengenai jumlah bangunan-bangunan yang ada di halaman
pertama dan kedua dari Pura Desa adalah berbeda-beda, tetapi pada tulisan
ini dikemukakan bangunan-bangunan pokok yang harus ada pada setiap pura
Kahyangan Tiga. Sebagai pedoman pendirian bangunan tersebut diambil dari
hasil seminar kesatuan
tafsir aspek-aspek agama Hindu yang
pertama yang diselenggarakan di Amlapura pada tahun 1974.
Bangunan-bangunan minimal yang ada pada halaman pertama
adalah sebagai berikut:
Candi Bentar.
|
Bentuknya belah dua yang berfungsi untuk pintu masuk ke
halaman pertama dari pura. Untuk memasuki halaman kedua (jeroan pura)
melalui candi kurung atau kori agung dengan berbagai macam bentuk
variasi dan hiasannya.
|
Bale Kulkul.
|
Letaknya di sudut depan dari halaman pertama. Bentuk
bangunannya dibuat tinggi sebagai menara dengan kulkul atau kentongan
yang bergantung di atasnya. Fungsi dari kentongan berkaitan dengan
pelaksanaan upacara seperti ketika nedunangbatara
dan ketika nyimpen.
Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama pura
akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang pura
seperti : persiapan piodalan, rencana perbaikan pura dan lain-lainnya.
|
Bale Agung.
|
Bangunan berbentuk bale panjang dengan dasar bangunannya
yang agak tinggi dan atapnya disangga beberapa buah tiang. Bangunan ini
berfungsi sebagai tempat pasamuhan (pertemuan) para batara ketika
berlangsung upacara ngusaba dan setelah upacara mekiyis (upacara
penyucian pratima dari batara).
|
Bale Gong.
|
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat gamelan, yang
ditabuh ketika upacara piodalan berlangsung untuk menunjang jalannya
upacara di pura.
|
Sedangkan Bangunan yang terdapat pada halaman kedua (jeroan)
dari Pura Desa adalah:
Sanggar Agung.
|
Bangunan ini disebut Pula dengan nama Sanggar Surya.
Penempatannya pada bagian arah hulu dari denah jeroan pura. Bangunan
ini pada bagian atas terbuka, yang berfungsi sebagai stana Hyang
Raditya/ Hyang Widi.
|
Gedong Agung.
|
Bangunannya berbentuk gegedongan yang dibagi atas tiga
bagian yaitu, dasar gedong, badan gedong dengan tembok keliling pada
keempat sisi, sehingga pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan. Ruangan
ini dapat dicapai melalui pintu pada bagian sisi depan dari gedong.
Bagian atap dari gedong dibuat bersusun dengan atap dari ijuk. Bangunan
ini berfungsi sebagai stana Dewa Brahma, dalam wujud pratima dan tidak
memakai laksana (ciri) Dewa Brahma sebagai lazimnya dalam seni arca.
Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan, berwajah empat yang
menghadap ke semua arah mata angin, bertangan empat yang masing-masing
memegang tasbih, cemara, kendi dan buah yang berbentuk bulat. Sakti
dari Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati dengan wahana angsa.
|
Ratu Ketut Petung
|
Bangunan berbentuk gedong berfungsi sebagai tempat pepatih
atau pendamping dari Dewa yang berstana di pura tersebut.
|
Ratu Ngerurah
|
Bangunan dibuat berbentuk tugu yang berfungsi sebagai
penjaga dan bertanggungjawab atas keamanan dari pura.
|
DENAH PURA DESA
|
|
|
1
|
Gedong Agung.
|
2
|
Sedahan Penglurah.
|
3
|
Ratu Ketut Petung.
|
4
|
Sanggar Agung.
|
5
|
Bale Pawedan.
|
6
|
Pengaruman.
|
7
|
Kuri Agung.
|
8
|
Apit Lawang.
|
9
|
Bale Agung
|
10
|
Bale Gong.
|
11
|
Bale Kulkul.
|
12
|
Candi Bentar
|
|
|
|
Kata Puseh adalah berasal dari kata puser yang berarti
pusat. Kata pusat di sini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraan
dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi umat manusia, sehingga
upacara-upacara yang berhubungan dengan kesuburan dunia dilaksanakan di
Puseh.
Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara dari ciptaan Hyang Widi
dalam seni arca digambarkan dengan laksana atau ciri bertangan empat yang
masing-masing memegang, cakra, sangka dan buah atau kuncup teratai.
Wahana adalah Garuda, sedangkan saktinya adalah Sri atau Laksmi (Dewi
Kebahagiaan).
Mengenai denah dari Pura Puseh dapat dibagi atas dua bagian
sebagaimana denah dari Pura Desa. Pembagian atas dua bagian tersebut
adalah: halaman pertama atau disebut dengan jabaan dari pura dan halaman
kedua disebut jeroan dari pura.
Pada halaman pertama terdapat beberapa buah bangunan,
seperti candi bentar, bale kulkul, pawaregan, bale gong, apit lawang dan
candi kurung.
Mengenai fungsi dari bangunan-bangunan tersebut di atas
adalah sama dengan bangunan-bangunan yang terdapat pada halaman pertama
dari Pura Desa.
Pada halaman kedua atau jeroan pura terdapat pula beberapa
buah bangunan dengan fungsinya masing-masing seperti:
Sanggar Agung:
|
Bangunan suci ini pada bagian puncaknya terbuka yang
berfungsi sebagai tempat memuja Hyang Raditya/ Hyang Widi Wasa. Pada
bagian puncaknya dibuat terbuka karena Hyang Widi tidak terbatas,
memenuhi alam semesta.
|
Meru Tumpang
Lima atau Tujuh
atau Sebelas.
|
Bangunan meru ini berfungsi sebagai stana Dewa Wisnu yang
dipuja di Puseh. Di sini menjadi tanda tanya kenapa meru, dipakai
sebagai stana Dewa Wisnu dan kenapa tidak Gedong sebagai di Pura Desa
dan Dalem. Mengenai hal ini belum diketahui dengan pasti tetapi kemungkinan
karena Meru adalah lambang gunung yaitu Gunung Mahameru sebagai stana
para Dewa. Gunung dengan hutannya adalah merupakan sumber mata air yang
nantinya mengalir menjadi sungai-sungai. Air inilah yang memberikan
kesejahteraan atau Amerta kepada umat manusia.
|
Ratu Made Jelawung.
|
Bangunannya berbentuk gedong, berfungsi sebagai tempat
pepatih (pendamping) dari Dewa yang berstana di Meru.
|
Sedahan Pengrurah.
|
Bangunan ini berbentuk tugu dengan fungsi sebagai penjaga
keselamatan dan keamanan dari pura.
|
Gedong Pertiwi.
|
Bangunan ini berfungsi sebagai stana dari Ibu Pertiwi.
|
Batur Sari.
|
Bangunan ini berfungsi sebagai stana dari Dewi Danuh yang
berkaitan dengan kesuburan.
|
Denah Pura Puseh.
|
|
|
Keterangan:
1
|
Meru.
|
2
|
Sedahan Penglurah
|
3
|
Ratu Made Jelawung.
|
4
|
Sanggar Agung.
|
5
|
Gedong Pertiwi.
|
6
|
Batur Sari
|
7
|
Pengaruman
|
8
|
Bale Pawedan
|
9
|
Kuri Agung
|
10
|
Apit Lawang
|
11
|
Bale Gong
|
12
|
Pawaregan
|
13
|
Bale Kulkul
|
14
|
Candi Bentar.
|
|
|
|
Kata Dalem secara harafiah berarti jauh atau sulit dicapai.
Disebut demikian karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit dicapai
oleh manusia karena beliau adalah niskala, wyapi-wyapaka.
Sakti dari Dewa Siwa adalah Dewi Durga, di mana kata Durga
berarti jangan mendekat, sebagai wujud kroda dari Dewa Siwa yang berfungsi
mempralina alam ciptaan Tuhan.
Dalam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai bentuk
sesuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagai Mahadewa, Siwa sebagai
Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan saktinya adalah Dewi Durga.
Siwa sebagai Mahadewa laksana atau cirinya adalah
ardhacandrakapala yaitu lambang bulan sabit di bawah sebuah tengkorak
yang disematkan pada mahkota, mata ketiga di dahi, upawita ular naga,
tangannya empat masing-masing memegang cemara, aksamala, kamandalu dan
trisula.
Siwa sebagai guru atau di Bali disebut Batara Guru
laksananya adalah kamandalu, Trisula, perutnya gendut berkumis dan
berjanggut panjang. Sedangkan sebagai Mahakala rupanya menakutkan
seperti: raksasa, bersenjatakan gada.
Durga sebagai saktinya Siwa dilukiskan sebagai
Mahisasuramardini ini. la berdiri di atas seekor lembu yang ditaklukkan.
Lembu ini adalah penjelmaan raksasa (asura) yang menyerang Kahyangan dan
dibasmi oleh Durga, Durga digambarkan bertangan 8,10 atau 12,
masing-masing tangannya memegang senjata.
Arca Durga yang terkenal dari Bali adalah
Durgamahisasuramardini dari Pura Bukit Dharma Mesa Kutri Gianyar. Arca
ini adalah arca perwujudan dari Gunapriya Darmapatni Ibunda dari
Airlangga. Laksana dari arca ini adalah bertangan delapan tetapi yang
tinggal utuh hanya enam buah, tangan kanan masing-masing memegang cakra,
anak panah, kapak, sedang tangan kirinya masing - masing memegang kerang
bersayap, busur dan tameng.
Putra dari Dewa Siwa adalah Ganesa yang digambarkan
berkepala gajah dengan empat buah tangan, yang masing-masing memegang
mangkuk, patahan gading, aksamala (tasbih dengan 50, 81, atau 108 butir
manik) dan kapak. Ganesa disembah sebagai Dewa penyelamat dari segala
rintangan dan juga sebagai Dewa ilmu pengetahuan.
Mengenai Denah dari Pura Dalem pada garis besarnya dapat
dibagi atas dua bagian yaitu: Jabaan (halaman pertama) dan Jeroan
(halaman kedua). Masing-masing halaman tersebut disertai dengan
bangunan-bangunan dengan fungsinya masing-masing. Bangunan-bangunan yang
didirikan di halaman pertama adalah hampir sama dengan bangunan-bangunan
yang ada di Pura Desa. Perbedaannya di halaman pertama Pura Dalem tidak
terdapat Bale Agung. Beberapa bangunan di halaman pertama adalah candi
bentar, bale kulkul, bale gong, pawaregan, apit lawang, candi kurung
(paduraksa).
Pada halaman kedua yang merupakan halaman yang tersuci,
terdapat beberapa jenis bangunan dengan fungsinya masing-masing, seperti
:
Sanggar Agung.
|
Bangunan suci ini ditempatkan pada bagian arah Timur Laut
(kaja kangin) dari denah halaman kedua. Bangunan ini berfungsi sebagai
tempat pemujaan Hyang Raditya (Tuhan Yang Maha Esa).
|
Gedong Agung.
|
Bangunan ini berbentuk gegedongan dengan memakai atap dari
ijuk. Pada bagian badan dari gedong terdapat ruangan yang berfungsi
sebagai tempat pratima (Arca) dari Dewa. Gedong Agung berfungsi sebagai
tempat pemujaan Dewa Siwa dalam wujud sebagai Dewi Durga yaitu Sakti
dari Dewa Siwa.
|
Ratu Ketut Petung.
|
Bangunannya berbentuk gedong tetapi ukurannya lebih kecil
dari gedong bata. Bangunan ini mempunyai fungsi sebagai tempat dari
pepatih (pendamping) dari Dewa.
|
Ratu Ngerurah.
|
Bangunannya berbentuk tugu, hanya bagian atas terbuat dari
konstruksi batu padas, sedangkan kalau gedong bagian kepala dari
bangunan terbuat dari konstruksi kayu dengan atap alang-alang atau
ijuk. Bangunan ini berfungsi sebagai penjaga dan bertanggungjawab atas
keamanan dari pura.
|
Denah Pura Dalem
|
|
|
1
|
Gedong Agung
|
2
|
Ratu Ngerurah
|
3
|
Ratu Ketut Petung
|
4
|
Sanggar Agung
|
5
|
Bale Pawedan
|
6
|
Pengaruman
|
7
|
Kuri Agung
|
8
|
Apit Lawang
|
9
|
Bale Pasandekan
|
10
|
Bale Gong
|
11
|
Bale Kulkul
|
12
|
Pwaregan
|
13
|
Candi Bentar
|
|
|
Upacara.
|
Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masing-masing
mempunyai hari piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari ulang tahun
dari suatu pura ditentukan melalui hari diresmikan pura tersebut. Hari
peresmian biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan petunjuk dari
pendeta dan selanjutnya ditetapkan sebagai hari piodalan. Kata piodalan
adalah berasal dari kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan
akhiran an yang berarti tempat lahir atau kelahiran.
Waktu pelaksanaan hari piodalan pada tiap-tiap pura
berbeda-beda, ada setiap enam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang
dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dari pura digolongkan pada
upacara dewa yajnya yang merupakan salah satu dari lima jenis upacara
atau Panca Yajnya. Yajnya berasal dari kata jaj yang artinya sembahyang.
Dari akar kata ini lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan
kepada Hyang Widi dan manifestasinya.
Pelaksanaan upacara di Pura Kahyangan Tiga dilakukan secara
berkala pada hari-hari tertentu, seperti upacara flap bulan sekali yang
disebut rerainan yang jatuh harinya sesuai dengan hari piodalan dan juga
setiap hari Purnama dan tilem. Upacara yang diadakan berkala setiap 210
hari disebut hari piodalan dengan upacara yang lebih besar dari rerainan.
Jenis upacara berkala yang lebih besar adalah karya ngusaba, karya
mamungkah dan lain-lainnya.
Pada umumnya tiap-tiap pura Kahyangan Tiga mempunyai
kekayaan khusus yang disebut laba pura atau kalau di Jawa pada jaman
Hindu disebut tanah perdikan dari suatu Candi. Laba Pura biasanya dalam
bentuk tanah yang luasnya tergantung pada kemampuan dari desa adat. Hasil
dari penggarapan tanah dimanfaatkan untuk kepentingan biaya upacara
rerainan, piodalan dan juga untuk biaya memperbaiki kerusakan dari
bangunan-bangunan yang ada di dalam pura. Kelompok orang yang
bertanggungjawab atas penyelenggaraan suatu pura disebut: Krama pura.
Untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Hyang Widi dan Batara Batari, ketika
upacara piodalan masyarakat menghaturkan sesajen yang disebut banten
piodalan dan banten perseorangan dari anggota krama pura. Banten piodalan
dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti banten sor, catur dan
lainnya. Jenis bebanten mana yang akan dilaksanakan tergantung pada
kemampuan dari para krama pura. Selain menghaturkan sesajen ketika
upacara piodalan berlangsung, diiringi pula dengan gamelan dan tari -
tarian suci keagamaan. Jenis tarian yang dipentaskan adalah; tari
Sanghyang, pendet, berbagai jenis baris. Tujuan dari pementasan tarian
ini adalah untuk menyambut kedatangan kekuatan suci di mana pada saat ini
masyarakat akan mengadakan kontak dan mohon keselamatan bagi warganya.
Karena itu sering dikatakan, munculnya jenis-jenis tarian di Bali pada
mulanya adalah diabdikan untuk kepentingan agama dan baru kemudian
berkembang menjadi seni kemasyarakatan yang ditandai munculnya kreasi-
kreasi baru dalam seni taxi di Bali.
Upacara piodalan dan jenis-jenis upacara berkala di Pura
Kahyangan Tiga diantarkan oleh seorang Pendeta tetapi upacara kecil yang
disebut rerainan diantarkan (diselesaikan) oleh seorang pemangku dari
pura itu sendiri. Untuk desa-desa kuna upacara diselesaikan oleh seorang
jero Gede atau semacam pemangku. Ketika pendeta memuja, para krama pura
sudah siap di halaman dalam untuk melaksanakan pemujaan. Setelah selesai
memuja maka pendeta menuntun jalannya persembahyangan hingga selesai.
Pemakaian puja atau stawa oleh pendeta pada masing-masing pura dari
Kahyangan Tiga adalah berbeda-beda seperti di Pura Desa memakai puja
Brahma stawa, di Pura Puseh memakai Wisnu Stawa dan di Pura Dalem
mempergunakan Durga Stawa. Sebagai contoh dikutipkan Brahma stawa sebagai
berikut:
Om Ang Brahma namas catur-mukham Brahmagni rakta-varnan
ca shpatika varna dewata, sarva bhusana raktakam.
Danda antra maha tiksna, atma raksa nabhi-sthana, adyageni surya
sphatika, sarva satru vinasanam.
|
Terjemahan
|
Hyang Widi Ang Dewa Brahma yang mulia, mempunyai empat
muka, Brahma adalah Agni, dengan warna merah, Dewa yang berwarna
berkilauan, mempunyai hiasan serba merah. Mempunyai senjata bernama
gada yang amat sakti, menjaga atma yang berada di nabi, awal dari api,
surya dengan cahaya berkilauan menghancurkan semua musuh-musuh.
|
Untuk pemujaan kepada Dewa Wisnu di Pura Puseh, pendeta
mempergunakan Wisnu stawa, kutipannya sebagai berikut:
Om Ung namo Wisnu tri mukhanam, trinayanam Catur-bhujam,
krsna varnam sphatikantam, sarva bhusana kresnam, Cakra astra
mahatiksnam, atma raksam ampru sthanam, amrtah jivano devah, sarva
satru vinasanam.
|
Terjemahan:
|
Hyang Widi Ung Dewa Wisnu, tiga muka, tiga mata dan empat
tangan, warna hitam yang berkilauan, semua hiasan hitam. Senjata cakra
yang amat tajam, melindungi atma, yang tinggal di hati, dewa memberikan
kehidupan, semua musuh dihancurkan.
|
Puja atau stawa yang dipergunakan oleh pendeta di Pura Dalem
disebut Durga stawa dan di sini akan disampaikan kutipannya sebagai
berikut :
- Om
Giri - putri deva-devi, lokasraya mahadewi Uma Gangga Saraswati
Gayatri Vaisnawi Dewi.
- Catur
Divya mahasakti, catur asrama Batari Siva jagat pati devi, Durga
Masayrira dewi.
- Sarva
jagat pranamyanam jagad vighna vimurcanam Durga bhucara moksanam
sarva duhka vimoksanam.
- Anugraha
amerta bhumi vighna dosa vinasanam sarva papa vinasanam sarva
pataka nasanam.
- Om
Deva-devi maha jnanam suddha vighna bhv esvari sarva jagat
pratisthanam sarva devanugrahakam.
|
Terjemahan
|
- Hyang
Widi Dewa-Dewi, Giri Putri yang melindungi dunia Dewi Uma, Gangga,
Saraswati, Gayatri, dan sakti Dewa Wisnu.
- Empat
kekuatan Maha sakti dan Batari dipuja dalam empat lingkungan hidup
Sakti dari Dewa Siwa, penguasa dunia, Durga yang berbadan Dewi.
- Dia
dihormati oleh seluruh dunia, mempunyai kekuatan menghilangkan
rintangan dunia Dewi Durga mendatangkan keselamatan dari gangguan
para danawa yang membawa kebebasan dari rintangan dan kesalahan.
- Dia
memberi karunia, air kehidupan untuk dunia, menghancurkan segala
rintangan dan dosa-dosa.
- Dewi
dari Dewa sebagai kebebasan yang maha besar, Dewi dari dunia yang
menghilangkan penderitaan. Menolong seluruh dunia, dan menyatu
dengan dewa-dewa yang lain serta memberi karunia.
|
Sekian, semoga bermanfaat.
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar