Jumat, 27 April 2012

Pura Penataran Agung


Di sebelah utara Pura Basukihan terletak megah Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung inilah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranyadan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning Batara Kabeh.
Kebanyakan orang menyangka Pura Besakih itu hanya Pura Penataran Agung saja, padahal masih banyak lagi pura pura disekitar Pura Penataran Agung yang menjadi penyiwiannya, seperti pura pura pedharman, dan kahyangan kahyangan lain. Pujawali di Pura Penataran Agung jatuh pada hari Purnamaning Kapat, sedang mengaci lainnya ialah "Bhatara Turun Kabeh" pada setiap hari Purnama Kedasa, Tawur Panca Wali Krama sepuluh tahun sekali dan Tawur Eka Dasa Rudra 100 tahun Caka sekali.

Pura Penataran Agung terdiri dan 7 mandala yang melambangkan "Sapta Loka" atau tujuh lapisan alam, di tiap-tiap petak terdapat bangunan-bangunan palinggih. 
Denah Pura Penataran Agung


MANDALA I

Mandala I
A. Candi Bentar
1. Bale Pegat
2. Bale Kulkul
3. Bale Kulkul
4. Bale Palegongan
5. Bale Pagambuhan
6. Bale Mundar-mandir atau Bale Omkara


Mandala Pertama
Secara filsafat Mandala Pertama ini melambangkan dunia kebendaan yang harus kita tinggalkan -- walau pun dengan susah payah -- agar kita dapat menapaki dunia kesucian. Pintu menuju ke kepada alam rohani ini menunjukkan batas- batas yang jelas dan dimuati dengan banyak lambang yang bertujuan mengingatkan kita bahwa langkah kita ke depan adalah langkah spiritual, dan harus diperjuangkan, tidak datang tanpa upaya, jadi kita harus suci, membebaskan diri kita sendiri dari kebohongan, kepalsuan dan kegelapan.
Mandala Pertama ini dicapai melalui rangkaian anak tangga yang cukup tinggi dan di pagari oleh dua baris patung- patung tokoh wayang. Di sebelah kiri adalah para tokoh pahlawan dari Mahabharata, sedangkan di sebelah kanan adalah pahlawan- pahlawan dari Ramayana. Patung- patung indah ini diukir sekitar tahun 1935 oleh sekelompok pematung dari desa Sukawati yang dipimpin oleh I Kolok.
Selanjutnya, unsur- unsur dari Mandala Pertama ini di antaranya adalah:

A. Candi Bentar
Candi Bentar, yaitu pintu gerbang utama.

01. Bale Pegat
Bale yang terputus di tengah. Mulai titik ini, pengunjung diminta untuk memutuskan hubungan dengan kehidupan kebendaan atau keduniawian. Bale ini bentuknya unik, tampak seperti dua buah bale dengan atap yang yang menyatu. Pertama dibuat, seperti diceritakan dalam babad warga Tutuan, sebagai lambang perpisahan, putusnya hubungan yang sudah sekian lama.

02 & 03. Bale Kulkul
Bale kentongan. Ada dua di sebelah kiri dan kanan pintu masuk, setelah kita berada di dalam.
Kentongan ini dibunyikan pada saat ada upacara.

04. Bale Pelegongan
Bale panjang tempat digelarnya kesenian Legong pada saat upacara tertentu.

05. Bale Pegambuhan
Bale panjang tempat digelarnya kesenian Legong pada saat upacara tertentu.

06. Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara.
Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara terletak di sebelah kanan kiri Candi Kurung, dimaksudkan sebagai pengingat kepada umat yang akan memasuki Kori Agung untuk terlebih dahulu mengheningkan pikiran sejenak menyatukan konsentrasi pada kesucian, karena ia akan mulai masuk ke halaman Pura Penataran Agung. Bangunan Bale ini bersaka tunggal, sangat artistik.

”Omkara”, Panggilan Tuhan yang Pertama

Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?

Swami Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samad di India, menyataan bahwa panggilan Tuhan yang pertama-tama dan yang tertua adalah dengan mengucapkan Omkara. Tuhan memang tanpa nama, tanpa rupa karena pada hakikatnya semuanya yang nyata ini adalah perwujudan Tuhan. Artinya apa pun yang ada ini sesungguhnya adalah ciptaan Tuhan. Karena tidak bernama maka manusia ciptaan Tuhan diteladani oleh para resinya memanjatkan doa pujian pada Tuhan dengan ucapan Omkara.
Tuhan pada hakikatnya maha-tahu. Pengucapan Omkara sebagai media pemanggilan Tuhan bukanlah untuk Tuhan, tetapi untuk mereka yang memanggil Tuhan agar merasa bahwa Tuhan sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara tersebut. Saat manusia berniat saja untuk memanggil-Nya, Tuhan sudah maha-tahu sebelumnya.
Demikianlah menurut keyakinan Hindu. Dalam Manawa Dharmasastra II.83 dan 84 dinyatakan bahwa Eka Aksara Om adalah Brahman yang tertinggi. Ketahuilah bahwa Omkara itu kekal abadi dan itu adalah Brahman penguasa semua ciptaan. Dalam Manawa Dharmasastra II.76 dinyatakan bahwa Aksara Omkara itu berasal dari aksara, A-U-M. dari suara tiga Veda dan inti dari Vyahrti Mantra.

Yang dimaksud dengan Vyahrti Mantra itu adalah Bhur, Bhuwah dan Swah. Yang mengupas tiga Veda dan Vyahrti Mantra menjadi aksara A, U dan M itu adalah Prajapati yaitu Tuhan sebagai rajanya makhluk hidup. Yang dimaksud dengan ketiga Veda itu adalah Reg, Sama dan Yajur Veda. Dari penyatuan aksara, A, U dan M itulah bersenyawa menjadi aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra.
Karena itu, Omkara itu juga disebut Vijaksara Mantra artinya biji aksara asal mulanya Mantra Veda. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti tujuan Tuhan menurunkan Aksara adalah untuk menyebarkan ajaran suci Tuhan yang kekal abadi itu.
Pura Besakih adalah media sakral untuk mencapai anugerah Tuhan berupa kehidupan yang bahagia Sekala dan Niskala. Dalam Vedanta Sutra I.1-4 ada dinyatakan bahwa untuk meraih anugrah Tuhan itu hanya dapat dilakukan berdasarkan tuntunan kitab suci Veda. Karena itu penempatan Balai Omkara simbol Vijaksara Mantra di kiri-kanan Candi Kurung atau Kori Agung Pura Penataran Agung Besakih sudah sangat sesuai dengan petunjuk ajaran suci Veda. Meskipun penempatan Balai Omkara itu tidak terlalu khusus, tetapi pada tempat yang sangat strategis.
Untuk memasuki Mandala kedua Penataran Agung Besakih harus melalui salah satu dari dua Candi Bentar yang mengapit Candi Kurung. Saat melalui salah satu dari pintu masuk tersebut pasti akan melihat salah satu dari Balai Omkara tersebut. Mengapa ada dua Balai Omkara yang mengapit Candi Kurung itu. Karena manusia dalam hidupnya ini tentu berharap senantiasa mendapatkan tuntunan Tuhan baik dalam kehidupan Sekala maupun dalam kehidupan Niskala. Pertimbangan untuk memperoleh kehidupan yang seimbang itulah nampaknya sebagai dasar pemikiran mengapa Balai Omkara itu didirikan kembar mengapit Candi Kurung tersebut.
Penempatan Balai Omkara pada tempat yang sangat strategis tetapi pada tempat yang sederhana itu patut menjadi renungan kita bersama. Hal ini bermaksud agar umat tidak terlalu sulit menjumpai Balai Omkara tersebut. Karena Omkara itu adalah simbol tersuci dalam ajaran Veda. Untuk itu umat jangan dipersulit untuk menjumpai simbol tersebut. Karena yang lebih sulit nantinya adalah bagaimana merealisasikan simbol suci itu dalam kehidupan sehari-hari.
Pengucapa Omkara Mantra itu sebagai doa untuk memperoleh tuntutan Tuhan agar dinamika Utpati, Stithi dan Pralina hidup manusia itu berjalan dengan sebaik-baiknya. Mereka lahir (Utpati) dengan selamat. Dalam menjalankan kehidupan (Stithi) pun juga dengan selamat. Kembali ke asal atau Pralina pun agar mereka dapat dengan selamat. Dalam Lontar di Bali disebut ”mati bener”. Itulah dambaan manusia yang lahir ke dunia ini.
Omkara juga dinyatakan sebagai sebutan Tuhan jiwa agung dari Bhur. Bhuwah dan Swah Loka. Memahami hal ini berarti manusia seharusnya menjaga perilakunya agar tidak berbuat yang dapat mencemari Tri Loka tersebut. Karena perbuatan yang buruk di Bhur Loka dapat merusa juga Bhuwah dan Swah Loka. Secara ilmu pengetahuan modern hal itu sudah dapat dibuktikan dengan ilmiah.
Penempatan Balai Omkara di Pura Besakih itu sebagai upaya untuk menggemakan suara suci Veda agar terserap dengan baik ke dalam lubuk hati setiap umat. Dengan terserapnya nilai-nilai suci Veda ke dalam lubuk hati setiap umat maka umat Hindu diharapkan dapat menyucikan hati nuraninya dari kabut kegelapan pengaruh Rajah Tamah yang negatif. Kalau Guna Rajah dan Tamah dapat dikuasai oleh Guna Satwam maka gema suara hati nurani pun akan dapat lebih mengendalikan perilaku.
Orang yang berperilaku sesuai dengan suara hati nuraninya yang suci itu akan dapat lebih mudah mencapai karunia Tuhan. Salah satu tujuan yang paling utama umat ke pura adalah untuk memperoleh karunia Tuhan. Karena itu sudah sangat tepatlah pendirian Balai Omkara di kiri dan kanan Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih.
Aksara suci Omkara dalam Manawa Dharmasastra II.75 dinyatakan sebagai media meditasi disertai dengan melakukan Pranayama dan Tirtha Pawitra. Omkara juga dijadikan pengantar dalam mengucapkan Vyahrti Savitri Mantra. Di Bali lebih terkenal dengan Mantra Gayatri. Tri Sandhya setiap pagi yang diawali dengan Mantram Gaya Tri itu sebagai mantram pertama.
Mantra pertama Tri Sandya itu sesungguhnya terdiri atas tiga jenis mantram yaitu: Omkara Mantra, Vyahrti Mantra (Bhur, Bhuwah dan Swah) dan Tri Pada Mantram terdiri atas 24 kata. Tiga jenis mantram itulah yang populer dengan Gayatri Mantram. Inilah yang disebut Mantram Veda yang paling universal. Nampaknya itulah tujuan utama didirikannya Balai Omkara di Pura Penataran Agung Besakih.
* wiana

Balai Omkara Kembar di Besakih

Brahmana pranava
Kurya dadavante sa carvada
Sravatyani krtam puvam
Purastasca visiryati.
(Manawa Dharmasastra, II.74)
Maksudnya:
Hendaknya pengucapan pranava (aksara Om) dilakukan pada permulaan dan penutupan dalam mempelajari Veda. Kalau tidak didahului pengucapan Om maka pelajaran Veda itu akan tergelincir menyasar. Kalau tidak ditutup dengan Om maka pengetahuan Veda itu akan menghilang.

Di Mandala pertama dari Pura Penataran Agung Besakih terdapat dua pelinggih kembar yang disebut oleh masyarakat sebagai Balai Mundar-Mandir. Sesungguhnya pelinggih itu adalah Balai Omkara sebagai simbol sakral dari Aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra. Pelinggih ini memang kelihatan sangat sederhana terletak di kiri-kanan Candi Kurung memasuki Mandala ketiga Penataran Agung di mana terdapat pelinggih Padma Tiga sebagai pelinggih yang paling utama di Pura Besakih.
Bangunan suci ini bertiang satu dengan atap yang sederhana. Omkara ini memang disebut Bijaksara yang artinya benih asal-usul dari semua Aksara. Mengapa simbol sakral yang menggambarkan kesucian Tuhan tidak ditempatkan di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih ini.
Di Mandala kedua ini terdapat Pelinggih Padma Tiga, Balai Gajah atau Balai Pawedaan, Bale Panjang dengan 24 tiang, Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang Sembilan, dst. Bentuk dan penempatan Balai Omkara yang sederhana ini saya yakin sudah mendapat pertimbangan mendalam daripada leluhur umat Hindu di Bali yang mendirikan Pura Besakih ini. Kemewahan bukan cara pendekatan yang harus dilakukan untuk mencapai pendekatan spiritual pada Tuhan. Justru dalam Markandeya Purana dinyatakan bahwa kesederhanaan adalah awal kebijaksanaan.
Balai Omkara di kiri-kanan Candi Kurung Mandala pertama Penataran Agung Besakih ini adalah sebagai simbol Omkara sebagai suatu cara pendekatan mencapai pencerahan rohani pada Tuhan yang diajarkan oleh Veda. Di Mandala pertama ini dilukiskan dengan simbol sakral bagaimana konsep untuk mencapai pendekatan diri pada Tuhan dengan simbol Omkara itu.
Di kiri-kanan tangga Candi Bentar menuju Mandala Pertama Penataran Agung Besakih terdapat arca yang melukiskan tokoh-tokoh pelaku Ramayana dan Mahabharata. Menurut Vayu Purana I.201 dan juga Sarasamuscaya 39 menyatakan bahwa untuk mencapai kesempurnaan Veda hendaknya terlebih dahulu mendalami Itihasa dan Purana. Ini artinya arca di kiri-kanan menuju Candi Bentar Penataran Agung Besakih sebagai tonggak spiritual untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa mendalami secara terus-menerus Itihasa dan Purana seperti Ramayana dan Mahabharata tersebut. Dengan demikian umat akan terus-menerus mendapatkan inspirasi untuk mengaplikasikan ajaran Veda dalam kehidupan sehari-hari dalam segala aspeknya.
Dari Candi Bentar ini kita memasuki Mandala Pertama dari Pura Penataran Agung Besakih. Kita akan ketemu tiga bangunan yaitu Balai Pegat yang diapit oleh dua Balai Kulkul Kembar. Di depan Balai Pegat ada di kiri dan di kanan areal Mandala Pertama ini balai kesenian yang disebut Balai Pelegongan dan Balai Pegambuhan. Bangunan-bangunan ini memiliki nilai yang sangat dalam dan mengacu pada ajaran suci Veda. Ada Balai Pegat yaitu balai berbentuk segi empat panjang bertiang delapan, dengan ruang dalamnya dibagi atas dua bagian terpisah.
Balai ini sebagai media untuk memercikan Tirtha pengelukatan sebagai sarana untuk memohon perlindungan Tuhan dari berbagai halangan dalam menuju jalan spiritual mencapai Omkara simbol Hyang Widhi Wasa itu. Balai Pegat ini dapat dijadikan sarana untuk bermeditasi memusatkan pikiran pada Omkara sebagai kesadaran rohani dengan memutuskan kesadaran duniawi. Karena itu namanya Balai Pegat. Kata Pegat artinya putus.
Balai Kulkul di kiri-kanan Balai Pegat ini juga sebagai simbol untuk mengembangkan rasa aman pada diri umat baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bersama. Kulkul adalah simbol raksanam. Artinya sebagai sarana doa untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman. Dalam Manawa Dharmasastra I.89 ada dinyatakan beberapa kewajiban para ksatria atau pemerintah, di antaranya ada dinyatakan bahwa menciptaan Raksanam dan Danam.
Maksudnya mengupayakan adanya suasana hidup yang mampu memberikan rasa aman (raksanam) dan sejahtera (danam) pada masyarakat. Jadi fungsi kulkul itu bukan dibunyikan untuk membuat kerusuhan. Dengan kata lain adanya kulkul kembar yang mengapit Balai Pegat itu sebagai media untuk memberikan inspirasi kepada umat untuk membangun suasana aman. Suasana aman itu meliputi aman secara duniawi dan aman secara rokhani. Karena itu kulkul-nya dibuat kembar.
Di depan Balai Kulkul kembar itu ada Balai Kesenian yang disebut Balai Pelegongan dan Balai Pegambuhan. Ini juga mengandung makna bahwa untuk mencapai kesucian Hyang Widhi dengan jalan Veda hendaknya melalui proses yang indah atau Sundaram. Mantra Veda itu sebagai sumber kebenaran dan kesucian atau Satyam dan Siwam harus diwujudkan menjadi keharmonisan atau Sundaram.
Dengan kata lain keharmonisan akan dapat memberi kontribusi positif pada kehidupan bersama apabila keharmonisan itu sebagai perwujudan Satyam dan Siwam. Kalau ada keharmonisan yang diwujudkan dengan pelaksanaan kekuasaan yang ketat dan keras dan tidak demokratis, keharmonisan itu adalah suatu stabilitas hidup yang palsu. Karena keharmonisan itu dengan menekan kemerdekaan rakyat untuk berkreasi.
Berbagai wujud bangunan suci di Mandala pertama Penataran Agung Besakih sebagai visualisasi ajaran suci Veda untuk menuntun umat dalam melakukan bakti pada Tuhan. Dari arca Ramayana dan Mahabharata amat sesuai dengan ajaran Vayu Purana dan Sarasamuscaya. Demikian juga tentang adanya Balai Pegat sebagai visualisasi intisari dari ajaran Yoga yang mengajarkan tentang pemusatan pikiran (Dhyana) pada Tuhan Siwa.
Demikian juga tentang adanya balai kesenian sebagai visualisasi bahwa untuk mencapai kesucian dan kebenaran Tuhan haruslah dengan cara yang indah atau seni. Bukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan tahapan itulah umat manusia baru bisa berkonsentrasi pada Tuhan yang disimbolkan dengan Omkara.
* I Ketut Gobyah



MANDALA II

Denah Manda II
8Bale Pawedaan
9Bale Agung
10Bale Kawas
11Bale Pasamuhan Agung
12Bale Papelik
13Padmasana Tiga
14Bale Tegeh Mpu Pradah
15Bale Papelik Sang Hyang Siyem
16Meru Tumpang-11
17Meru Tumpang-9
18Piasan Alit
19Palinggih Babaturan
20Bale Kembang Sirang
21Bale Gong

MANDALA KEDUA
Mandala kedua ini adalah tempat umat berinteraksi dengan Tuhan. Umat mempersembahkan ketulusan bakti, dan Tuhan akan menerima persembahan itu. Karena itu segala bentuk upacara dipusatkan di sini. Inilah Mandala yang menggambarkan peradaban (social life) manusia.
Unsur- unsur dari Mandala Kedua ini anatara lain adalah:

A. Kori Agung - Gelung Agung
Gelung Agung atau Kuri Agung, yaitu pintu untuk keluar masuk ke Mandala Kedua dan mandala- mandala di atasnya.

B. Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara.
Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara terletak di sebelah kanan kiri Candi Kurung, dimaksudkan sebagai pengingat kepada umat yang akan memasuki Kori Agung untuk terlebih dahulu mengheningkan pikiran sejenak menyatukan konsentrasi pada kesucian, karena ia akan mulai masuk ke halaman Pura Penataran Agung. Bangunan Bale ini bersaka tunggal, sangat artistik.

08. Bale Pawedaan
Bale Gajah atau Bale Pawedaan, yaitu tempat yang disediakan bagi para sulinggih yang akan melakukan pemujaan.

09. Bale Agung
Bale Agung, yaitu sebuah Balai Panjang yang disediakan untuk tempat paruman atau bersidang dan pare rohaniawan yaitu para sulinggih dan para walaka.

10. Bale Kawas
Bale Kawas atau Gedong Kawas, penyimpanan sementara untuk bahan baku sesajen.

11. Bale Pesamuan Agung
Pesamuan Agung, ialah sebuah balai panjang dimana terdapat Çiwa Lingga dan tempat stana arca arca prelingga. Di tempat ini Ida Bhatara berstana bersama dalam interaksi dengan umat. Di sebelah kiri Balai Pesamuan terdapat Pelinggih Sang Hyang Ider Bhuwana. Dua pelinggih ini memiliki hubungan yang sangat erat dalam menggambarkan keberadaan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa di alam semesta ini.
Di Balai Pesamuan itu sebagai tempat upacara yang melukiskan berkumpul dan bersatunya semua dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di kompleks Pura Besakih, baik yang ada di Pelinggih Soring Ambal-Ambal maupun di Pelinggih Luhuring Ambal-Ambal. Upacara yang melukiskan semua Dewa manifestasi Tuhan berkumpul di Balai Pesamuan itu umumnya dilakukan saat ada upacara Batara Turun Kabeh.
Kata Batara Turun Kabeh artinya semua Dewa manifestasi Tuhan yang disebut Batara itu turun dan bersatu untuk memberikan anugerah kepada umatnya yang berbakti kepada Tuhan. Upacara Batara Turun Kabeh ini dilakukan setiap tahun pada Sasih Kedasa.
Saat dilangsungkan upacara Batara Turun Kabeh itu simbol-simbol sakral yang utama yang ada di semua kompleks Pura Besakih itu diusung secara ritual dan distanakan di Balai Pesamuan. Hal ini menggambarkan bahwa para Dewa bersatu untuk memberikan karunia pada umat sesuai dengan kadar karma dan baktinya. Hal ini sesungguhnya sangat menarik untuk dipahami secara teologi Hindu.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu esa tetapi kemahakuasaan Tuhan itu tiada terbatas. Manusia tidak mungkin dapat memahami dan mampu memuja Tuhan dengan semua kemahakuasaan-Nya. Dalam ajaran Hindu Kemahakuasaan Tuhan itu disimbolkan ada di seluruh penjuru. Artinya ada di delapan penjuru angin dan tiga di tengah yaitu bawah, tengah, dan atas. Tidak ada penjuru alam ini tanpa kehadiran Tuhan. Seluruh penjuru itu dilambangkan menjadi sebelas penjuru tersebut.
Seluruh penjuru itu kalau dihubungkan dengan suatu garis akan melingkar bulat. Karena itu Bhuwana Agung itu dilukiskan sebagai Pelinggih Ider Bhuwana stana Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di kiri Balai Pesamuan ada Pelinggih Ider Bhuwana di Penataran Agung Besakih. Seluruh dewa manifestasi Tuhan itulah yang dipuja di Balai Pesamuan saat ada upacara Batara Turun Kabeh. Hal ini sebagai suatu upacara untuk mengingatkan umat Hindu agar dalam segala aspeknya kehidupannya selalu berpedoman pada penguatan spiritual yang bersumber dari ajaran agama sabda Tuhan.
Balai Pesamuan juga sebagai simbol Ida Batara turun menjumpai umatnya. Melakukan pesamuan agar sweca yang dianugerahkan sesuai dengan baktinya umat dan masineb untuk kembali ke Luhuring Akasa.
Pelinggih Ider Bhuwana itu melukiskan bahwa di bumi yang bulat inilah Tuhan itu maha ada. Karena itu, bumi yang bulat ini harus dijaga kelestariannya dengan berbuat suci agar bumi ini tidak kotor.

12. Bale Papelik
Bale Papelik, yaitu tempat menaruh sesaji. Persembahan untuk Ida Bhatara Ider Bhuana, manifestasi Ida Hyang Widdhi Wasa sebagai kekuatan yang melingkupi seluruh jagad raya.

13. Padmasana Tiga
Yaitu Kahyangan Tri Purusa masing-masing Çiwa, SadaÇiwa dan ParamaÇiwa. Padma Sana Tiga ini inilah pusat dari seluruh aktifitas dan kemulyaan di Pura Penataran Agung Besakih.

14. Bale Tegeh Linggih Mpu Pradah
Bale Tengah, tempat pemujaan pada Mpu Peradah atau Mpu Baradah, seorang pendeta suci dari abad XI. Disebut juga Rabut Peradah.

15 Bale Pepelik Sang Hyang Siyem
Bale Pepelik, tempat pemujaan-pada Ida Ratu Sanghyang Siyem, junjungan para penolak hujan (juru terang).

16. Meru Tumpang 11
Meru tumpang 11 tempat pemujaan pada Ida Bhatara Manik Makentel atau Ratu Manik Maketel, sebagai penguasa daya penggerak atau enerji.

17. Meru Tumpang 9
Meru tumpang 9, tempat pemujaan Ida Bhatara Bagus Kubakal. Beliau adalah pelindung kesucian bahan baku sesajen dan sarana upacara.

18. Piasan Alit
Piasan alit tempat sesaji.

19. Palinggih Bebaturan
Palinggih Bebaturan tempat pemujaan kepada Bhatara Sila Majemuh, penguasa atas musim dan keteraturan cuaca.

20. Bale Panggungan Kembang Sirang
Panggungan, yaitu tempat sesaji atau bebanten. Sebuah bale besar bersaka 16 tempat dilakukannya upacara Mapeselang.

21. Bale Gong
Bale Gong, balai tempat menabuh gambelan. Dulu tempat ini dipakai untuk menjamu raja, keluarganya atau pangreh praja yang lain. saat mereka berkunjung ke pura.

Bale Piasan
Bale Piasan, tempat menghias pretima-pretima.

Lain-lain
Pelinggih Tiga Pandita di Pura Besakih
Sang Hyang Brahma Aji maputra tetiga, panua Sang Siwa, pamadya Sang Bodha, pamitut Sang Bujangga, Sang Siwa kapica Agninglayang amrestista akasa, Sang Bodha kapica Agnisara amrestista pawana, Sang Bujangga kapica Agni Sinararasa Mratista sarwaprani, iti ngaran Sang Tri Bhuwana Katon.
(Dipetik dari Lontar Ekapratama)
Maksudnya:
Hyang Brahma berputra tiga yaitu tertua Sang Siwa, yang kedua Sang Bodha dan yang terkecil Sang Bujangga. Sang Siwa diberi senjata Agni Ngelayang untuk menyucikan akasa, Sang Bodha diberi senjata Agnisara untuk menyucikan atmosfir dan Sang Bujangga diberi senjata Agni Sinararasa untuk menyucikan sarwaprani. Beliau ini disebut Sang Tri Bhuwana Katon.

Di jajaran belakang Padma Tiga dan di depan Balai Pesamuan terdapat tiga pelinggih berjejer. Pelinggih itu umum menyatakan berbentuk gedong, tetapi menurut pendapat penulis itu adalah Pelinggih Meru Tumpang Siki. Pelinggih yang di tengah sebagai pemujaan Mpu Beradah, di kirinya Pelinggih Sang Hyang Siem dan yang di kanan untuk Danghyang Markandia. Tiga pandita ini berbeda paksa, sampradaya atau sektanya.
Mpu Beradah sebagai Pandita Siwa, Sang Hyang Siem adalah dari Budha dan Resi Markandia adalah Bujangga Waisnawa. Tiga pandita atau resi ini nampaknya sebagai perwujudan konsep Sang Tri Bhuwana Katon yang dinyatakan dalam Lontar Eka Pratama. Maksud Sang Tri Bhuwana Katon ini adalah beliau yang suci yang nampak di bumi ini untuk memimpin umat manusia.
Kemungkinan besar konsep Sang Tri Bhuwana Katon ini yang disebut Tri Sadhaka. Kata ''sadhaka'' artinya orang yang mampu melakukan sadhana yaitu merealisasikan atau mewujudkan kesucian dharma pada dirinya. Kata sadhaka berasal dari kata sadhana yang artinya kegiatan merealisasikan dharma dalam diri. Kalau sudah berhasil barulah disebut sadhaka.
Kalau kita perhatikan makna yang terkandung dalam Lontar Ekapratama tersebut bahwa keberadaan tiga pandita Siwa, Budha dan Bujangga Waisnawa itu sebagai ciptaan Tuhan untuk memimpin umat manusia memelihara kelestarian tiga lapisan bhuwana ini yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka.
Pada zaman modern sekarang ini tiga lapisan alam itu setiap hari dijejali oleh perbuatan manusia yang dapat mengotori tiga lapisan alam tersebut. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya setiap Sasih Kesanga ada upacara Melasti dan upacara Tawur Kesanga di selenggarakan oleh umat Hindu. Upacara tersebut untuk mengingatkan umat agar dalam hidupnya ini senantiasa menegakkan upaya memuja Tuhan untuk menegakan Rta dan Dharma.
Kalau keberadaan alam selalu sesuai dengan Rta maka alam itu akan menjadi sumber penghidupan umat manusia sepanjang zaman. Demikian pula kalau dharma selalu tegak sebagai dasar kehidupan bersama dalam masyarakat maka manusia pun akan selalu dapat mewujudkan kebersamaan yang baik sebagai lingkungan sosial yang dinamis, harmonis dan sinergis. Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta dan dharma inilah sesungguhnya aplikasi Tri Hita Karana.
Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya. Sedangkan pemujaan Tuhan untuk tegaknya dharma akan menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Artinya pemujaan Tuhan yang menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan itu untuk Rta dan dharma.
Saat diselenggarakannya Tawur Kesanga untuk ditingkat propinsi ada tiga pandita yang mapuja. Tiga pandita inilah yang disebut oleh masyarakat umum Tri Sadaka. Pandita Siwa memuja untuk memohon kepada Tuhan agar umat dituntun untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat mengotori akasa. Pandita Budha memuja untuk memohon kepada Tuhan demi kebersihan lapisan atmosfir. Sedangkan Pandita Bujangga memuja Tuhan untuk kesejahteraan sarwaprani.
Tiga lapisan alam ini sesungguhnya tidak terpisah-pisah adanya satu sama lain saling tergantung. Kalau salah atau lapisan yang rusak akan dapat merusak lapisan yang lain. Nampaknya pembuatan pelinggih untuk pemujaan tiga pandita ini didasarkan oleh Lontar Eka Pratama yang dikutip di atas.
Dari penempatan tiga pelinggih untuk tiga resi atau pandita itu dapat diambil sebagai suatu teladan bagi umat Hindu terutama yang ada di Bali bahwa tiga resi itu sebagai penuntun umat dalam mengembangkan pembinaan kehidupan alam dan manusia secara seimbang. Tiga pandita resi itu adalah sebagai Adi Guru Loka artinya sebagai guru yang utama dari masyarakat.
Pemujaan pada tiga sadhaka inilah sebagai suatu peringatan pada umat untuk berguru dalam menjaga kelestarian ibu pertiwi dengan enam hal. Enam hal yang harus dilakukan untuk menjaga tegaknya kelestarian ibu pertiwi dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1.Ena hal itu adalah ''Satya. Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya. Umat pada umumnya dalam melakukan upaya melakukan enam hal menjaga ibu pertiwi atau Sad Pertiwi Daryante. Hendaknya senantiasa memohon tuntunan tiga macam pandita tersebut. Memohon tuntutan untuk menjaga kelestarian akasa, kebersihan udara dari polusi (amratistha pawana) dan menjaga kelestarian sarwaprani.
Satya adalah adalah sikap hidup yang konsisten dan konsekuen bertindak berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya). Rta adalah perilaku yang menjaga kesejahteraan alam, Tapa adalah perilaku membina ketahanan diri untuk melawan binakinya hawa nafsu. Diksa adalah suatu upaya untuk terus berupaya mencapai kehidupan suci sampai mencapai status Dwijati.
Artinya tidak hanya lahir dari rahim ibu saja, tetapi bisa lahir dari rahimnya Weda melalui tuntunan pandita atau resi. Brahma artinya selalu berdoa dan belajar dengan tekun. Doa dengan mengucapkan mantra-mantra Veda tersebut dapat menguatkan eksistensi Dewi Sampad atau kecenderungan kedewaan.
Yadnya adalah sikap hidup yang senantiasa tulus dan ikhlas untuk rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia. Enam hal itulah yang wajib dilakukan oleh umat atas tuntunan tiga pandita resi untuk menjaga agar Sad Pertiwi Daryante itu terlaksana dengan baik. *I Ketut Gobyah



MANDALA III

Denah Mandala III
22Bale Papelik Kayu Selem
23Bale Papelik Pasek Brejo
24Bale Papelik Danghyang Dwijendra
25Bale Papelik Manik Mas
26Bale Gedong Arya Batu Lepang
27Kehen
28Meru Tumpang-7 Batara Geng
29Meru Tumpang 11 Bhatari Gaya Tri
30Bale Panggungan
31Bale Pepelik Pelinggih Ida Ratu Ngalesung
32Meru tumpang 5 Pelinggih I Gusti Ngurah Dauh
33Meru tumpang 7 Pelinggih Ida Bhatara Tulus Dewa
34Meru tumpang 5 Pelinggih Ida Bhatara Penataran
35Meru tumpang 3 Pelinggih Ida Bhatara Suka Luwih
36Gedong Pelinggih Ida Gusti Teges
37Gedong Pelinggih Ida Gusti Hyang Angan Tiga





MANDALA KETIGA
Mandala ini merupakan contoh kesadaran akan kesetaraan yang patut dipakai sebagai azas kehidupan umat. Pada Mandala ini dibangun unsur- unsur yang mengacu kepada para leluhur dan para guru yang masing mewakili berbagai golongan, aliran, kearifan dan semuanya mendapat tempat yang dimuliakan dalam alam spiritual. Di mandala ketiga Pura Penataran Agung Besakih melukiskan turunnya sinar Tuhan menciptakan manusia-manusia yang memiliki berbagai bakat dan minat sebagai pemimpin. Inilah mandalanya Hyang Aji Saraswati.
Unsur- unsur dalam Mandala Ketiga ini di antaranya:

22. Bale Pepelik Pasek Kayu Selem
Bale Pepelik pemujaan terhadap leluhur Pasek Kayu Selem.

23. Bale Gedong Pasek Brejo
Bale Gedong, tempat pengaci. Pemujaan terhadap leluhur Pasek Brejo.

24. Bale Pepelik Dang Hyang Nirartha
Bale Pepelik dipersembahkan kepada Dang Hyang Nirartha.

25. Bale Pepelik Manik Mas
Bale Pepelik dipersembahkan kepada Bendesa Manik Mas.

26. Bale Gedong Arya Batu Lepang
Bale Gedong, tempat pengaci sebagai persembahan kepada Ida Arya Batu Lepang.

27. Kehen
Kehen adalah tempat penyimpanan pusaka pura, hanya sulinggih dan pamangku yang boleh memasuki bangunan beratap susun 3 ini. Kehen berbeda dengan meru karena strukturnya yang berdenah segi empat panjang, sedangkan meru berdenah bujur sangkar. Bentuk seperti ini hanya terdapat di beberapa pura di Bangli dan Karangasem bagian barat.

28. Meru Tumpang 7 Bhatara Geng
Meru tumpang 7 tempat pemujaan kepada Bhatara Geng. Bhatara Geng juga bisa disebut Bhatari Saraswati atau Sang Hyang Aji Saraswati, dewi ilmu pengetahuan.

29. Meru Tumpang 11 Bhatari Gaya Tri
Meru tumpang 11 tempat pemujaan kepada Bhatara Maspahit atau juga sering disebut Ida Bhatari Gaya Tri. Bhatari konon adalah permaisuri Raden Wijaya, yang mendirikan Majapahit. Meru ini istimewa karena pintunya dapat dibuka ke empat penjuru arah.

30. Bale Panggungan
Bale Panggungan, tempat mempersiapkan dan meletakkan sesaji pada upacara pedharman.

31. Bale Pepelik Ida Ratu Ngalesung
Bale Peplik Pelinggih Ida Ratu Ngalesung

32. Meru Tumpang 5 I Gusti Ngurah Dauh
Penghormatan bagi I Gusti Ngurah Dauh.

33. Meru Tumpang 7 Bhatara Tulus Dewa
Meru tumpang 7 tempatpemujaan pada Ida Bhatara Tulus Dewa atau Batara Tulus Sadewa, salahsatu putra Dang Hyang Manik Angkeran.

34. Meru Tumpang 5 Bhatara Penataran
Meru tumpang 5 tempat pemujaan kepada Ida Bhatara Penataran.

35. Meru Tumpang 3 Bhatara Suka Luwih
Meru tumpang 3 tempat pemujaan kepada Ida Bhatara Suka Luwih

36. Gedong Gusti Teges
Gedong. tempat pemujaan I Gusti Teges.

37. Gedong Hyang Angan Tiga
Tempat pemujaan kepada I Gusti Hyang Angan Tiga.

Bale Pawedan
Tempat para sulinggih memuja




MANDALA IV


Denah Mandala IV
38Bale Pepelik
39Bale Kampuh
40Bale Tegeh Pelinggih Ida Sang Hyang Widyadari
41Bale Tegeh Pelinggih Ida Sang Hyang Widyadara
42Bale Pepelik
43Meru tumpang 11 Pelinggih Ida Ratu Sunaring Jagat
44Bebaturan Ratu Sedahan Manginte
45Gedong Pelinggih Ida Ratu Ayu Subandar
46Gedong Pelinggih Ida Ratu Ayu Ulang Alu
47Pelinggih Arca


MANDALA KEEMPAT
Mandala ini melambangkan perwujudan Ida Hyang Hyang Widdhi dalam bentuk kekuatan yang menjaga harmoni jagat raya. Pada mandala ini terlukis cerminan-cerminan dari falsafah Tri Hita Karana.
Unsur-unsur mandala keempat ini antara lain:

38. Bale Pepelik
Linggih Bhatara Daneswara sebagai penunggu dan penjaga pura Besakih.

39. Bale Kampuh Pelinggih Surya Candra
Palinggih Surya Candra tempat pemujaan Hyang Raditya dan Hyang Ratih. Di tempat ini biasanya umat melakukan semadhi untuk mendapatkan ketenangan dan kesucian rohani.

40. Pelinggih Hyang Widyadari
Bale Tegeh sebagai pelinggih Hyang Widyadari. Tempat untuk memuja manifestasi Tuhan sebagai sumber kecantikan dan kejelitaan, kelembutan putri bidadari yang banyak didambakan oleh umat. Umat yang menekuni bidang yang berkaitan langsung dengan kecantikan hendaknya memohon anugrah Beliau di sini. Misalnya, para artis seni tari, pemilik salon kecantikan, foto-model, dan para remaja puteri.

41. Pelinggih Hyang Widyadara
Bale Tegeh, sebagai pelinggih Hyang Widyadara. Tempat untuk memuja manifestasi Hyang Widdhi berupa sumber keindahan maskulin. Pusat pancaran dari kegagahan dan kegantengan pengawal surga pria (bidadara) ada di sini, untuk dimohon bagi umat yang banyak mengandalkan kehidupan kesehariannya dari pesona maskulin, misalnya para penari pria, aktor drama, peragawan dan para remaja pria.

42. Bale Pepelik Ida Ratu Ngalesung
Bale Pepelik, linggih Ida Ratu Ngelesung, tempat pemujaan terhadap manifestasi Tuhan berwujud lesung penumbuk padi. Suatu unsur kehidupan sehari-hari yang sangat penting keberadaannya, sampai-sampai dianggap sebagai karunia yang patut dihargai di sini. Ida Ratu Ngalesung melindungi penumbuk padi di seluruh Bali sehingga ketahanan pangan tetap terjaga.

43. Meru Tumpang 11
Meru tumpang 11 Palinggih Ida Ratu Sunaring Jagat. Di Pelinggih Meru Tumpang Sebelas ini Tuhan dipuja sebagai Ratu Sunaring Jagat yaitu Tuhan dalam fungsinya untuk memberikan sinar sucinya kepada semua kehidupan isi alam semesta ini.

44. Bebaturan Ida Ratu Sedahan Manginte
Pemujaan untuk Krian Manginte atau Ida Ratu Sedahan Panginte.

45. Gedong Pelinggih Ida Ratu Subandar
Palinggih Ida Ratu Subandar, linggih Hyang Waruna. Tempat pemujaan daya Ida Hyang Widdhi dalam kekuasaan yang memberikan perlindungan terhadap perdagangan dan keadilan dalam berniaga, terutama perniagaan yang menyeberangi samudra. Umat yang menjalankan roda bisnis dalam kesehariannya memusatkan bakti mereka kepada pelinggih ini.

46. Gedong Pelinggih Ida Ratu Ulang Alu
Palinggihan Ida Ratu Ulang Alu, tempat memuja Hyang Widdhi dalam kekuasaan Beliau sebagai kekuatan yang memberi perlindungan kepada pedagang kecil dan pengusaha lemah (pengalu). Umat yang menjalankan usahanya dengan membawa barang dagangannya berkeliling sampai ke pelosok-pelosok wilayah negeri hendaknya memusatkan baktinya melalui gedong pelinggih ini.

47. Pelinggih Arca
Adanya Pelinggih Arca Siwa Budha ini sebagai wujud kebijakan yang amat arif dari pendiri Pura Besakih yang sangat menghargai perbedaan keyakinan. Karena memang di bumi ini pada kenyataannya ada persamaan dan ada perbedaan. Kalau kita bijak mengelolanya persamaan dan perbedaan itu justru sebagai sumber inspirasi membangun kehidupan yang adil dan sejahtera.

48. Pelinggih Hyang Gendarwa
Linggih Hyang Gandarwa sebagai penguasa bala pengaman pura Besakih, pemegang tali kekang segala ancangan atau makhluk halus kesayangan para bhatara bhatari.



MANDALA V, MANDALA VI & MANDALA VII
48Meru tumpang 3 Pelinggih Ida Ratu Ayu Magelung
49Bale Pepelik
50Bale Pepelik
51Meru tumpang 11 Pelinggih Ida Sang Hyang Wisesa
52Gedong Pelinggih Ida Ratu Bukit Tengen
53Gedong Pelinggih Ida Ratu Bukit Kiwa


MANDALA KETUJUH
Di Mandala paling atas, ada bidang yang dibiarkan kosong, tidak ada pelinggihnya. Itulah Mandala ke tujuh, lambang kekosongan alam sunya. Memang tidak luas, ditumbuhi rumpun bambu sumpit.
Bagi para spiritualis, Mandala ketujuh ini melambangkan alam akhir yaitu sesudah segalanya di-pralina (lenyap sempurna), sekaligus awal sebelum adanya penciptaan, karena kehidupan berputar tanpa henti.
MANDALA KEENAM
Pada Mandala ini terdapat hanya dua gedong yang melambangkan penciptaan Hyang Widdhi yang pertama, yaitu Rwa Bhinneda. Karena itu kedua pelinggih gedong ini disebut sebagai pelinggih Rwa Bhinneda. Disebut pula sebagai Pelinggih Purusa- Pradana. Mandala keenam ini melambangkan cikal bakal kehidupan. Bentuk pertama yang tercipta setelah kesunyian alam kosong adalah Rwa Bhinneda ini, dari sini lah terbentang alam semesta. Sampai kapan pun Rwa Bhinneda tetap menjiwai tetap ciptaan di jagat raya.
Dua pelinggih di kawasan mandala keenam ini adalah:

52. Gedong Pelinggih Ida Ratu Bukit Tengen
Gedong Pelinggih Ida Ratu Pameneh, atau linggih Ratu Pradana, di mana distanakan Ida Dewi Danuh (Ida Bhatari Gunung Batur), Putri Hyang Pasupati.

53. Gedong Pelinggih Ida Ratu Bukit Kiwa
Gedong Pelinggih Ida Ratu Pucak, atau linggih Ratu Purusa, sebagai stana yang dipersembahkan kepada Hyang Putranjaya (Ida Bhatara Gunung Agung), putra Hyang Pasupati.
MANDALA KELIMA
Mandala kelima ini melambangkan kekuatan dan keberadaan yang timbul dan bersumber dari Rwa Bhinneda, yaitu Sekala dan Niskala.
Unsur-unsur yang terdapat pada mandala ini:

48. Meru Tumpang 3
Meru tumpang 3 tempat pemujaan pada saktinya Hyang Indra. Disebut Ida Ratu Mas Magelung.

49 & 50. Bale Pepelik
Tempat meletakkan sesaji.

51. Meru Tumpang 11
Tempat pemujaan terhadap baginda Wikramawardhana, yang dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana. Mengapa pelinggih beliau ada di Besakih kami kurang tahu, tetapi beliau juga dicandikan di Wisesapura yang terletak di Boyolangu (Tulungagung, Jatim).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar