Minggu, 29 April 2012

Pura Luhur Lempuyang


Pura ini terletak di puncak bukit Bisbis, termasuk wilayah kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem, sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Icwara. Pura ini berstatus sebagai salah satu “Sad Khayangan Jagad” sehingga dengan demikian jelas bahwa pura ini merupakan penyungsungan jagat yg terletak pada arah timur pulau Bali. Dengan demikian dilihat dari segi letak, dapat dijelaskan bahwa fungsi dari pura ini sebagai perlambang untuk menjaga keseimbangan alam semesta.

Berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa turunnya “Bhatara Tiga” pada zaman dahulu dari gunung Semeru di Bali dan kejadian-kejadian sesudah peristiwa tersebut. Dari sekian banyak sumber , ada baiknya dikutip tiga buah diantaranya, yaitu

1. Babad Pasek
Di Dalam Babad Pasek ini antara lain diuraikan demikian: Malawas lawas ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih Kalima, tang ping 5, rah panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih tahun icaka 113, malih makepelug hyanghing tolankir, mijil Bhatara Putrajaya tumut arin Ida Bhatari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa, arine Bhatari Dewi Danuh, aparhyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya aparhyangan maring giri Lempuyang duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de Bhatara Pacupati: “Kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, agelah ta kita ku kinon samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka panghuluning Bali”, mangkana andika Bhatara Pacupati, neher matilar Bhatara Tiga, anging hana atur ira :”Singgih Hyang Bhatara dening nanak Rahadyan Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga. Sumahar Bhatara Pacupati, ling ira: ”Aja walat hati hulun lugraha maka awantha, apan kita anang manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus samangkana, raris sinaput bhatara tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara Pacupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara, awtning takya ajnanan, wus mangkana lumaku Bhatara Tiga, raris dteng arnawan awan ira, mangkana pawijilan bhatara nguni…..dan seterusnya

Artinya kurang lebih seperti berikut: Lama kelamaan berumur dunia ini 70 tahun, pada hari Sukra Keliwon, wara Tolu, sasih Kalima (sekitar bulan November) tanggal ping 5, rah panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar sambung menyambung, gempa bumi, selama 2 bulan, tahun icaka 113 (tahun 191 M), lagi meletus gunung Agung tersebut. Keluar Bhatara Putrajaya, ikut adik beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih, dengan bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya Bhatari Dewi Danuh, berparhyangan di Hulun Danu sedang Bhatara Gnijaya berparhyangan d gunung Lempuyang. Tatkala berangkat Bhatara Tiga di perintahkan oleh Bhatara Pacupati: “Kamu Mahadewa dan Danuh, Gnijaya segera kamu kuperintahkan sekarang juga, datang di pulau Bali, supaya menjadi stabil pulau Bali, kamu sebagai pimpinan bali:, demikian bersabda Bhatara Pacupati, lalu berangkat Bhatara Tiga, akan tetapi ada atur beliau : “Ya Hyang Bhatara oleh karena putera Rahadyan Bhatara masih anak-anak, belum mengetahui pada jalan”, demikian atur Bhatara Tiga. Dijawab oleh Bhatara Pacupati, sabda beliau: ”Jangan susah hati akan kuberikan petunjuk jalan, sebab kamu anakku, junjunglah (terimalah) olehmu untuk dimuliakan di Bali:, sesudah demikian lalu dibungkus Bhatara Tiga, dengan kepala gading oleh Bhatara Pacupati, setelah dibungkus, digaibkan oleh Bhatara, dengan kekuatan bathin, dan sesudah apa berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan beliau, dengan demikian tibanya Bhatara dahulu……dan seterusnya.

2. Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul
Didalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsulada disinggung mengenai Lempuyang, yang antara lain disebutkan sebagai berikut : Na wuwus Sanghyang Paramecwara ri tanayan ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijayacakti, ling ira :”Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih ikang gunung maka stanata sowing-sowang, ginawe Kahyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul, Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya, dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana katemu denta gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta gunung mas mapucak manik, adasar ratna kopala winten, akrikilmirah, apasir podhi, ya tika agran ira Hyang Mahameru gnuni, ingsun, ingsun, ginawa mareng bangsul, sun parah tiganen, kang sabagi dadi gunung Batur, maka dadi daour candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sabagi isornya, sundadya akna gunung Rinjani, ikang pucuk dadi ira dadi Hyang Tolangkir, ngaran gunung sasor nikang gunung Agung ika lwirnya, saka purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, gunung Tasahi, kulonya gunung Pangelengan, kulonya gunung Mangu, kulonya gunung Cilanjana, kulonya gunung Beratan, kulonya gunung Watukaru, kulonya mwah pagunungan Nagaloka, kulonya mwah, nga, gunung Pulaki, mangidul Wetan sakeng rika hana gunung Pucaksangkur, Bukit Rangda, tratebang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana gunung Andakasa mwang Huluwatu, terus mangetana maring ghneya desan ira hana gunung Byaha, mwang Byasmuntig, ikang maring Purwa hana gunung Lempuyang, mangalora saka rika hana gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring bangsul, ndan makweh kari geger kang maring madya, tan ucapa akna. Ika ta kabeh wenang maka ungguhaning dharma kahyangan para Dewata kita makabehan.

Artinya kurang lebih demikian: Demikian sabda Sanghyang Paramecwara kepada puteranya para dewata sekalian, terutama sekali Sanghyang Gnijaya cakti, sabda beliau “Wahai anakku kamu sekalian, kamu kusuruh dating di daerah Bali, menjaga pulau bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat kahyangan, sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah Bali, yang adanya itu berkat yoghaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk opuncaknya, dan aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagian-bagiannya, menjadi pecahan besar kecil kemudian ditempatkan di daratan, serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan, selamat di Bali, demikianlah anakku engkau dewata sekalian, kamu akan jumpai gunung Agung, sebagai tanda gunung besar, di sebelah timur laut, itu lah gunung mas yang berpuncak manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah,berpasir padi, itulah puncaknya gunung Hyang Mahameru dahulu, aku, aku bawa gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya, yang sebagian di bawahnya, aku jadikan gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang Tolangkir, bernama gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan, dibawah gunung Agung itu seperti, dari Timur menghitunganya, akan diketahui namanya, yaitu gunung Tasahi, di baratnya gunung Pangelengan, dibaratnya gunung Mangu, di baratnya gunung Cilanjana, di baratnya gunung Beratan, di baratnya gunung Batukaru, di baratnya lagi gunung Pulaki, ke tenggara dari sana terdapat gunung Puncaksungkur, bukit Rangda, Trate bang, kesebelah timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan, ada gunung Andakasa dan Huluwatu, terus ke timur di sebelah tenggara tempatnya ada gunung Byaha dan Byasmunting, yang di sebelah timur ada gunung Lempuyang, ke sebelah utara dari sana ada gunung Sraya, demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah, yang tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal membuat Kahyangan para dewata kamu kalian.

3. Prasasti Desa Sading
Di dalam prasasti desa Sading antara lain disebutkan bahwa gunung Lempuyang juga disebut “Andri Karang” yang bermakna gunung Karang, dan disana Raja Jayacakti melakukan Samadhi yang akhirnya dalam sejarah perjalannya lebih dikenal dengan sebutan “Karangasem”. Mengenai gunung Lempuyang ini juga erat kaitannya dengan datangnya Raja Jayacakti di Bali, yang dikisahkan sebagai berikut: Pada sekitar tahun icaka 1072 (tahun 1150 M) pada sasih Kasanga, tanggal ping 12, bertepatan dengan bulan separoh terang, wara Julungpujut, Cri Maharaja Jayacakti menyelenggarakan rapat dengan para pimpinan perang utama Rakryan Apatih dan dibawah Rakryan, pada suatu rapat besar, raja berkehendak pergi ke pulau Bali bersama degnan permaisurinya, dan beliau berkeinginan beristana di “Ardri Karang”. Beliau dating ke bali ikut karena ada perintah dari ayah beliau yaitu Sanghyang Guru, dengan tujuan untuk membuat dharma disana di gunung Lempuyang sebagai penyelamat pulau bali, disertai oleh segenap Pandita Ciwa dan Budha, dan Uga Mantri Agung ikut. Disanalah Raja Cri Jayacakti dijadikan raja oleh masyarakat. Tidak senanglah beliau dijadikan raja, oleh karena beliau bertingkah laku baik dan tidak digoyahkan oleh pikiran tamak, loba, ataupun pikiran pamerih didalam masyarakat, segenap abdinya sangant menghormati, sebab beliau raja yg berhasil dan sempurna dalam disiplin bathinnya. Adapun selaku abdinya jumlahnya tidak terhitung banyaknya, dan mantrinya saja yang menghitung, mengatur yaitu berjumlah 400 orang termasuk pasukan dari Jawa. Beliau juga disebut Maharaja Bima ialah Sri Bayu atau Sri Jaya atau Sri Gnijayasakti. Selanjutnya disebutkan sebagai berikut.

Dari ketiga buah sumber tersebut dapat diketahui, bahwa sebagai awal berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini erat kaitannya dengan tibanya Bhatara Tiga di bali, dimana antara lain disebutkan bahwa Bhatara Tiga tiba di di Bali pada hari Jumat Kliwon, wara Tolu, bertepatan dengan sasih (bulan) Kalima pada tahun icaka 113 (sekitar November 191). Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu bahwa diantara Bhatara Tiga itu Bhatara Gnijaya berparhyangan di gunung Lempuyang (bukit bisbis). Bhatara Tiga tiba di Bali dari gunung Semeru (Jawa Timur) atas perintah Bhatara Pasupati, untuk dijadikan junjungan pulau Bali. Sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian seperti tibanya Raja Sri Jayasakti yang kemudian bersemedhi disana adalah merupakan kelanjutan dan kelengkapan semata-mata. Di Pura Lempuyang Luhur ini terdapat suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan dan bersifat khusus ialah dengan terdapatnya serumpun bambu “Buluh Gading”. Di dalam ruas-ruas bambu ini akan didapat “tirta” (air suci) yang lazim disebut “Tirta Pingit”, karena tidak setiap orang yang datang sembahyang kesana akan memperolehnya, melainkan hanya suatu kelompok keturunan saja yang mendapatkan tirta tersebut, sedang dari warga lainnya tidak mungkin.

Pangempon Pura Lempuyang Luhur ialah seluruh kerama desa Puraayu, adapun susunan, jumlah dan nama palinggih (bangunan suci) yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai berikut:
• Sebuah Padmasana yang terletak pada bagian Utara menghadap ke Selatan sebagai parhyangan Bhatara Luhuring Akasa
• Dua buah palinggih berbentuk seperti padmasana yang pondasinya menjadi satu terletak pada bagian Timur menghadap ke Barat. Yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang Gnijaya dan yang di sebelah Selatan sebagai Parhyangan para putera beliau.
• Sebuah Bale Pawedhan atau Phyasan sebagai tempat meletakkan sajen dan sekaligus sebagai Bale Pawedhan (tempat memuja).
• Sebuah bangunan Gedong Pasimpenan, sebagai tempat menyimpan alat-alat upacara.

9 Palinggih yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur, lazim juga disebut Kahyangan “Tri Purusa” yaitu Ciwa, Sadha Ciwa, dan Parama Ciwa sebagai perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Upacara aci atau pujawali di Pura Lempuyang Luhur ada dua jenis yaitu setiap enam bulan Bali (210 hari) bertepatan dengan hari Kamis Umanis, wara Dungulan (Umanis Galungan) dan pada setiap Purnamaning Wesaka (Purnama sasih kadasa).
Pemangku dari Pura Lempuyng Luhur ini selalu dijabat oleh satu keturunan secara tradisional menurut garis purusa (patrilinuial), sedang mengenai “pengangge” yang dipergunakan di Pura Lempuyang Luhur ini selalu berwarna putih dan kuning. Bilamana aka diselenggarakan upacara aci atau piodalan seluruh bahan-bahan ramuan disediakan oleh para “Truna”(pemuda), sedangkan yang mengerjakannya adalah para “ “Daha”(krandan) ialah para wanita remaja. Ini dimaksudkan agar, semuannya bersifat suci, karena rohaniah, walaupun kadang-kadang hal ini belum dapat sebagai jaminan mengenai kesucian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar