Pura Dasar Bhuana
terletak di Desa Gelgel, Klungkung. Dari Denpasar, berjarak sekitar 42
kilometer. Pura ini berdiri di atas lahan yang cukup luas. Berdiri megah dan
tampak asri di pinggir jalan utama Gelgel-Jumpai. Sebagimana umumnya
Pura-pura di Bali, Pura Dasar Bhuana memiliki tiga mandala -- Nista Mandala,
Madya Mandala dan Utama Mandala. Di bagian Nista Mandala terlihat keangkeran
pohon beringin besar yang tumbuh sejak berabad-abad lamanya.
Masuk ke Madya
Mandala, pamedek bisa melihat bangunan-bangunan berupa Pelinggih Bale Agung.
Pelinggih ini tampak unik karena panjangnya mencapai 12 meter. Bersebelahan
dengan Bale Pesanekan dan pelinggih tempat berstanakan seluruh petapakan dan
pratima Pura-pura yang ada di Desa Pakraman Gelgel. Pratima maupun petapakan
itu tedun dan distanakan saat berlangsung Karya Agung Pedudusan (Ngusaba)
yang dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat.
Sementara di Utama
Mandala terdapat belasan pelinggih di antaranya Meru Tumpang Solas, Meru
Tumpang Telu, Padma Tiga dan banyak lagi pelinggih lainnya. Dalam setahun,
ada dua wali/ karya digelar yakni wali bertepatan dengan Pamacekan Agung,
serta wali/ karya Padudusan yang jatuh pada Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana
dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatikta (Kerajaan Majapahit) pada
tahun Caka 1189 atau tahun 1267 Masehi. Pura ini merupakan salah satu Dang
Kahyangan Jagat di Bali. Pada masa Kerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan
dibangun untuk menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan
dikelompokkan berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang dikenal sebagai tempat
pemujaan di masa kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang
Kahyangan Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskan dari
ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.
Pura atau Ashram yang
dibangun pada tempat di mana Maharsi melakukan yoga semadi adalah sebagai
bentuk penghormatan kepada Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di
Karangasem. Silayukti diyakini sebagai tempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian
pula dengan Pura Dasar Bhuana Gelgel yang dibangun sebagai penghormatan
terhadap Empu Ghana. Di pura inilah Mpu Ghana yang dikenal sebagai seorang
Brahmana yang memiliki peran penting perkembangan agama Hindu di Bali,
beryoga semadi (berparahyangan).
Selain sebagai Dang
Kahyangan, pura yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Kota Semarapura,
Klungkung itu juga merupakan pusat panyungsungan catur warga yang berasal
dari soroh/ klan di antaranya soroh/ klan Satria Dalem, Pasek (Maha Gotra
Sanak Sapta Rsi), soroh Pande (Mahasamaya Warga Pande) dan klan Brahmana
Siwa. Semuanya merupakan pengabih Ida Batara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.
Masing-masing warga
memiliki panyungsungan, seperti Meru Tumpang Solas -- panyungsungan Para Arya
dan Satria Dalem. Meru Tumpang Tiga -- panyungsungan Keturunan Mpu Geni yang
menurunkan trah Pasek. Meru Tumpang Tiga sebagai penyungsungan warga Pande.
Padma Tiga yang berada di antara Meru Tumpang Solas dan Meru Tumpang Sia
(sembilan), panyungsungan warga Brahmana. Dengan banyaknya soroh yang ada di
dalamnya, diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu jagat dengan konsep
bersatunya semua klan yang ada di Bali dengan konsep ''kaula gusti
menunggal''.
Pura yang dibangun di
atas areal cukup luas itu, juga menjadi panyungsungan Subak Gde Suwecapura.
Di antaranya Subak Pegatepan, Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu.
Panyungsungan dilakukan saat Karya Pedudusan Agung lan Pawintenan yang
bertepatan dengan Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana di-empon
Desa Pakraman Gelgel yang terdiri atas 28 banjar dan tiga desa dinas -- Desa
Gelgel, Desa Kamasan dan Desa Tojan. Keberadaannya berkaitan erat dengan
keberadaan Keraton Suwecapura tempo dulu yang juga berada di Gelgel. Namun,
jika melihat tahun berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel
diperintah raja pertama, Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang
merupakan warisan maha-agung ini didirikan pada tahun Saka 1189 atau tahun
1267 Masehi.
Sebagaimana
sejarahnya, Pura Dasar Bhuana erat kaitannya dengan Mpu Ghana yang hidup pada
akhir abad IX Masehi. Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan
Wilwatika sebagai bentuk penghormatan terhadap Mpu Ghana. Empu Ghana
merupakan seorang brahmana dengan peran sangat besar terhadap perkembangan
agama Hindu di Bali.
Empu Ghana adalah
orang suci yang berasal dari Jawa. Tiba di Bali pada masa pemerintahan
(suami-istri) Udayana Warmadewa dan Gunapraya Gharmapatni yang berkuasa dan
memerintah Bali pada tahun Caka 910 sampai tahun Saka 933 (tahun 988-1011
Masehi). Empu Ghana merupakan brahmana penganut paham Ghanapatya. Seumur
hidup menjalankan ajaran Sukla Brahmacari yakni tidak menjalani masa Grahasta
(tidak menikah). Kaitannya setelah berdirinya Kerajaan Suwecapura, pura ini
dipakai sebagai merajan keluarga raja saat itu. Letak pura ini persis berada
di timur laut Keraton Suwecapura. Pada zaman itu, Keraton Suwecapura berdiri
di Banjar Jero Agung, Gelgel.
''Letak pura ini
berada di hulu Keraton Suwecapura. Dulunya, disungsung keluarga Raja Gelgel,''
tutur Agung Anom Wijaya. Pura ini memang erat kaitannya dengan keberadaan
Kerajaan Suwecapura. Sejumlah situs peninggalan Kerajaan Suwecapura masih
tetap dilestarikan di pura ini sampai sekarang.
* baliputra
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar